Minggu, 12 Desember 2010

ULUMUL QURAN TTG. ILMU MUNASABAH Karya Abdul Mufid

ILMU MUNASABAH AL-QUR’AN





Makalah

Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulum al-Qur’an
Program Magister Ilmu Agama Islam Konsentrasi Pendidikan Agama Islam
Tahun Akademik 2010/2011


Dosen : Prof. Dr. H. Nurwadjah Ahmad EQ., M.A.








Disusun oleh:

ABDUL MUFID
NIM. 2.210.9.070








UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG JAWA BARAT

2010 M. /1431 H.
ILMU MUNASABAH

A. PENDAHULUAN
Seorang muslim tidak dapat menghindarkan diri dari keterikatannya dengan Al-Qur’an. Seorang muslim mempelajari Al-Qur’an tidak hanya mencari kebenaran ilmiah, tetapi juga mencari isi dan kandungan Al-Qur’an. Hal ini seiiring dengan definisi Al-Qur’an yakni:

كلام الله على نبيه (محمد صلعم) المعجزبتلاوته المنقول بالتواتر المكتوب فىى المصاحف من أول سورة الفاتحة الى أخر سورة الناس
“(Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya (Muhammad SAW) yang lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf mulai dari awal surah Al Fatihah sampai akhir surah An-Nas.)”


Al-Qur’an merupakan petunjuk dan mukjizat yang memiliki kesatuan, yakni kesatuan pada sumber, kesatuan poros surah dan kesatuan tema, yang dengan ini mempengaruhi cara pandang dalam memahami Al-Qur’an. Dengan petunjuk-petunjuk tersebut, Al-Qur’an menjadi pedoman hidup untuk keselamatan manusia dari kehidupan dunia sampai kehidupan akhirat.
Berdasarkan kenyataan bahwa naskah al-Qur’an menurut Mushaf Utsmani tidak disusun berdasarkan fakta kronologis turunnya. Hal ini menimbulkan pembahasan tersendiri di dalam ulum al-Qur’an, apakah susunan tersebut berdasarkan petunjuk Nabi SAW (tawqifi) atau hanya hasil kreasi para penulis wahyu dengan ijtihad para sahabat?
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada petunjuk Nabi SAW (tawqifi). Pendapat ini didukung oleh Al-Qadi Abu Bakr, Abu Bakar Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani dan Ibn Al-Hisar. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat dalam surah adalah tauqifi. Pendapat ini didukung oleh Malik. Adapula yang sependapat dengan pendapat pertama, bahwa susunan itu tawqifi dari Nabi SAW tetapi surah Al-Anfal dan Bara’ah dipandang bersifat ijtihadi. Pendapat ini dianut oleh Al-Baihaqi.
Berdasarkan perbedaan-perbedaan di atas, maka wajar jika masalah munasabah Al-Qur’an merupakan bagian dari telaah ulum al-Qur’an untuk mengungkap berbagai bentuk hubungan dan kemiripan-kemiripan dalam al-Qur’an. Hal ini semakin membuktikan bahwa al-Qur’an “sebagai sesuatu yang sangat luar biasa.”


B. ILMU MUNASABAH
1. Pengertian Munasabah
Kata “munasabah berasal dari kata - يناسب – مناسبة ناسب yang berarti dekat, serupa, mirip, berhubungan, sesuai. Menurut As-Suyuthi munasabah berarti musyakalah (keserupaan) dan al-muqarabah (kedekatan). Bahkan المناسبة sama artinya dengan (القريب المتصل) yang berarti dekat dan berkaitan.
Menurut Az-Zarkasyi, munasabah bisa berarti suatu pengetahuan yang diperoleh secara ‘aqli dan bukan diperoleh melalui tawqifi. Dengan demikian, akallah yang berusaha mencari dan menemukan hubungan-hubungan, pertalian atau keserupaan sesuatu itu.

Secara terminologi, munasabah dapat didefinisikn sebgai berikut:
a). Munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’an baik surah maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.
b). Menurut Ibnu al-Arabi dalam Mabahits fi Ulum al-qur’an, Mansyurat al-Hadits karangan Manna al Qaththan mengungkapkan bahwa munasabah adalah :

ارتباط أي القرأن بعضها ببعض حتى تكون كالكلمةالواحدة متسق المعانى منتظمةالمبانى علم عظيم
(Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung)
c). Menurut Manna’ al-Qaththan yang dimaksud Munasabah al-Qur’an adalah:
وجه الارتباط بين الجملة والجملة فى الايةالواحدة أو بين الاية والاية فى الايةالمتعددة او بين السورة والسورة
Artinya:
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat, atau antar surah (di dalam al-Qur’an).

Dari beberapa difinisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu munasabah adalah ilmu yang membahas tentang korelasi makna antar-ayat atau antar-surah baik bersifat umum atau khusus, logis atau imajinatif ataupun berupa hubungan sebab akibat, perbandingan dan perlawanan.
Ilmu munasabah pertama kali diperkenalkan oleh Al-Imam Abu Bakar Abdullah ibn Muhammad Ziyad Al-Naisabury (atau Al-Imam Abu Bakar An-Naisabury).

2. Cara Mengetahui Munasabah
Munasabah bersifat ijtihadi, artinya pengetahuan tentang munasabah ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan riwayat baik dari Nabi SAW maupun para sahabatnya. Sehingga tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada.
Menurut Syekh Izzudin bin Abdus-Salam bahwa seorang mufassir terkadang menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya, tetapi terkadang tidak. Jika tidak menemukan keterkaitan, mufassir tidak diperkenankan memaksakan diri, karena jika memaksakan berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Jadi dalam hal ini dibutuhkan ketelitian dan pemikiran yang mendalam.
As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang diperhatikan untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surah dalam Al-Qur’an, yaitu:
a) Memperhatikan tujuan pembahasan suatu surah yang menjadi objek pencarian.
b) Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surah.
c) Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
d) Dalam mengambil kesimpulan, harus memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.


2. Macam-macam Sifat Munasabah
a. Dzaahirul Irtibath (persesuaian yang nyata)
yaitu yang persambungan atau persesuaian antara bagian yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain. Contohnya, seperti persambungan antara ayat 1 surat Al-Isra:
           ....
Artinya: “Maha Suci Allah, yang memperjalankan hambah-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Agsha”.

Ayat tersebut menerangkan isra’ Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya, ayat 2 surat Al-Isra tersebut yang berbunyi:
       ......
Artinya: “Dan kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israel”.
Persesuaian antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang Nabi/Rasul tersebut.

b. Khafiyyul Irtibath (Persesuaian yang tidak jelas)
yaitu samarnya persesuaian antara bagian Al-Qur’an dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat atau surat itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain . Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surat Al-Baqarah dengan ayat 190 surah Al-Baqarah tersebut berbunyi:
        ••   .........
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan tsabit. Katakanlah, bulan tsabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”.

Ayat tersebut menerangkan bulan tsabit/tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu jadwal ibadah haji. Sedangkan ayat 190 surat Al Bagarah berbunyi:
              
Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas.

Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam.

3. Macam-macam Munasabah
Pada garis besarnya munasabah itu ada 7 (tujuh) macam, namun bisa dikelompokkan menjadi dua hal yaitu:
a) Munasabah surah dengan surah, meliputi:
1) Munasabah awal surah dengan akhir surah.
2) Munasabah nama surah dengan tujuan turunnya
3) Munasabah surah dengan surah sebelumnya
4) Munasabah penutup surah terdahulu dengan awal surah berikutnya.

b) Munasabah ayat dengan ayat, meliputi:
1) Munasabah kalimat dengan kalimat dalam ayat,
2) Munasabah ayat dengan ayat dalam satu surah,
3) Munasabah penutup ayat dengan kandungan ayatnya.



1) Munasabah Awal Surah dengan Akhir Surah
Munasabah awal surah dengan akhir surah, seperti Surah al-Mukminun yang diawali dengan ayat:
  
Artinya: “Orang-orang Mukmin memperoleh kemenangan.”

Pernyataan awal surah al-Mukminun di atas adalah pernyataan bahwa orang mukmin akan menang, mereka pasti menang. Kemudian di akhir surah terdapat pernyataan:
   
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan memperoleh kemenangan.”
Pernyataan dalam ayat tersebut adalah bahwa orang kafir tidak akan memperoleh kemenangan. Artinya orang mukminlah yang akan memperoleh kemenangan sebagaimana diungkap di awal surah. Jadi dari contoh ini jelas bahwa awal surah dan akhir surah tersebut mempunyai korelasi.
2) Munasabah Nama Surah dengan Tujuan Turunnya
Nama-nama Surah dalam al-Qur’an biasanya diambil dari suatu masalah pokok di dalam surah. Menurut Shubhi As-Shalih munasabah nama surah dengan tujuan turunnya ini terbagi menjadi dua macam:

(a) Hubungan yang diketahui berdasarkan riwayat.
Contoh hubungan jenis ini seperti Surah Al-Baqarah. Nama Al-Baqarah diambil dari kata “Baqarah” yang terdapat pada ayat 67-71, ayat tersebut memuat kisah Nabi Musa a.s. dengan kaumnya. Menurut riwayat Ibn Abbas pada masa itu ada seseorang yang membunuh kerabatnya soal warisan, kemudian mayatnya digeletakkan di tengah jalan dan Nabi Musa a.s. tidak berhasil menyingkap siapa pembunuhnya. Kaum Nabi Musa a.s. melecehkan dan menyuruh bertanya pada Tuhan. Oleh karena itu Allah berfirman untuk menyembelih sapi sebagai penebus peristiwa itu. Akan tetapi kaum Nabi Musa a.s. terus saja melecehkan dengan bertanya jenis warna dan berbagai hal tentang sapi yang disembelih.
Surat An-Nahl juga mempunyai korelasi antara nama dengan tujuan turunnya berdasarkan riwayat. Menurut riwayat Abu Hurairah bahwa perbuatan orang dzolim itu tidak akan memudharatkan kecuali kepada dirinya sendiri. Lalu Allah menurunkan ayat 67-69 Surah An-Nahl agar menjadi ibarat bagi manusia supaya menjadi makhluk beriman dan berguna seperti lebah.

(b) Hubungan yang diketahui berdasarkan penelaahan pikiran
Surah Al-Kahfi, dinamai demikian karena mengandung kisah “Ashab al-Kahfi.” Kisah ini turun setelah ada pertanyaan kaum musyrikin tentang wahyu yang terlambat turun. Surah ini menjelaskan kepada mereka bahwa kisah Ashab al Kahfi adalah bukti kebesara Allah SWT. Allah tidak memutuskan nikmatNya kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum mukminin. Bahkan Allah melengkapi nikmatNya dengan menurunkan Al-Qur’an.

3) Munasabah Surah dengan Surah Sebelumnya
Dalam korelasi ini satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, misalnya di dalam surah Al-Fatihah disebutkan:
  
Artinya: “Tunjukilah kami ke jalan yang lurus!”
Kemudian dijelaskan di dalam Surah Al-Baqarah bahwa jalan yang lurus itu adalah mengikuti petunjuk Al-Qur’an, seperti disebutkan:
        
Artinya: “Kitab (Al-Qur’an) itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”

Contoh lain, surah Al-Falaq dan An-Nas berkaitan dengan surah Al-Ikhlas. Surah Al-Falaq dan An-Nas diturunkan bersamaan waktunya menurut Al-Baihaqi. Oleh karena itu, dua surah ini disebut “Al-Mu’wwidatain” yaitu yang dimulai dengan ‘audzu’. Mohon perlindungan itu hanya kepada Allah SWT yang puncaknya dalam surah Al-Ikhlas, Allah Maha Esa.
Hubungan surah satu dengan surah sebelumnya dapat dicari melalui empat cara, yaitu:
a) Bi hasb huruf (dilihat melalui huruf). Misalnya surah-surah yang dimulai dengan حم dan الر tersusun berurutan.
b) Karena ada persesuaian antara akhir suatu surah dengan permulaan surah berikutnya. Misalnya akhir surah Al-Fatihah dengan awal surah Al-Baqarah.
c) Dilihat الوزن dalam lafazhnya. Misalnya akhir surah Al-Lahab dengan permulaan surah Al-Ikhlas.
d) Adanya kemiripan dalam bilangan ayat dalam ayat suatu surah dengan surah berikutnya. Misalnya Surah Ad-Duha dengan Surah al-Insyirah.

4) Munasabah Penutup Surah dengan Awal Surah Berikutnya
Contoh munasabah ini antara lain akhir Surah al-Waqia’ah ayat 96:
   
Artinya: “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar!”

Kemudian surah berikutnya yakni surah al-Hadid ayat 1 :
         
Artinya: “Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah SWT (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Begitu pula halnya hubungan akhir surah Ali Imran dengan permulaan surah An-Nisa. Surah Ali Imran ditutup dengan perintah bersabar dan bertakwa kepada Allah:
      •   
Kemudian di awal surah An-Nisa berisi perintah untuk bertakwa kepada Allah SWT juga. Ayat tersebut adalah:
 ••        ...............
5. Munasabah Kalimat dengan Kalimat dalam Ayat
Munasabah antara ayat dengan ayat terbagi dalam dua macam:
a. Hubungan yang sudah jelas antara kalimat terdahulu dengan kalimat kemudian, atau akhir kalimat dengan awal kalimat berikutnya, atau masalah terdahulu dengan masalah yang dibahas kemudian. Hubungan ini sering berbentuk ‘at-tadhadat’ (perlawanan). Seperti ayat 4 Surah Al-Hadid:
                                       
Artinya:
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya, dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid: 4)

Antara kata “yaliju” (masuk) dengan kata “yakhruju” (keluar), serta kata “yanzilu” (turun) dengan kata “ya’ruju (naik) terdapat korelasi perlawanan.

b. Hubungan yang belum jelas antara ayat dengan ayat atau kalimat dengan kalimat. Hubungan ini menurut Az-Zarkasyi terdiri atas dua macam:

1) Ma’thufah (معطوفة (
Adanya huruf ‘athaf’ mengisyaratkan adanya hubungan pembicaraan. Namun demikian ayat-ayat yang ‘ma’thuf’ itu dapat diteliti melalui bentuk susunan berikut:
(a) المضادة (perlawanan/bertolak belakang antara suatu kata dengan kata lain)
Misalnya kata الرحمة disebut setelah العذاب ; kata الرغبة sesudah katالرهبة ; menyebut janji dan ancaman sesudah menyebut hukum-hukum. Hubungan seperti ini banyak terdapat dalam surah al-Baqarah, An-Nisa dan Al-Maidah.
(b) الاستطراد (pindah ke kata lain yang ada hubungannya atau penjelasan lebih lanjut)
Misalnya kaitan antara الاهلة dengan memasuki rumah dari belakang dalam ayat 189 surah al-Baqarah. Pada musim haji, kaum Anshor mempunyai kebiasaan tidak memasuki rumah dari depan. Sebelum itu mereka menanyakan الاهلة . Lalu ayat ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan البر itu adalah takwa kepada Allah dengan menjalankan apa yang Allah tentukan dalam berhaji. Mereka telah melupakan masalah الاهلة tadi karena beralih ke soal memasuki rumah dari belakang dalam kaitannya dengan ibadah haji.
(c) التخلص (melepaskan kata satu ke kata lain, tetapi masih berkaitan)
Misalnya ayat 35 surah An-Nur yang berbunyi:
                 •           •                      ••      
Dalam ayat di atas terdapat lima Takhallush yaitu:
(1) Menyebut النور dengan perumpamaannya, lalu di-takhallush-kan ke  dengan menyebut sifatnya.
(2) Kemudian menyebut لنورا dan الزيتونة yang meminta bantu darinya, lalu ditakhallush dengan menyebut sifat الشجرة
(3) Dari الشجرة ditakhallush dengan menyebut sifat zaitun.
(4) Lalu ditakhallush dari menyebut sifat الزيتونة ke sifat لنورا
(5) Kemudian dari لنورا ditakhallush ke nikmat Allah berupa hidayah bagi orang yang Allah kehendaki.

(d) Tamtsil dari keadaan.
Misalnya tamtsil yang disodorkan dalam surah al-Isra ayat 1dengan 2 dan 3. Peristiwa Isra Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Palestina sebanding juga dengan Isra Nabi Musa a.s. dari Mesir ke Palestina. Ayat ini dihubungkan dengan ayat 3 yang berisi kisah Nuh; bahwa keturunannya wajib meniru Nuh a.s. sebagai hamba yang bersyukur. Ayat tersebut dihubungkan lagi dengan ayat 8-9 yang menyebutkan barangsiapa berbuat baik atau jahat akan mendapat balasan sesuai janji Allah.

2) Tidak ada Ma’thufah
Ketika tidak ada ma’thufah dapat dicari hubungan ma’nawiyahnya, seperti hubungan sebab akibat. Ada tiga bentuk hubungan yang menandai ayat dengan ayat atau hubungan kalimat dengan kalimat:
(a) التنظير (berhampiran/berserupaan)
Misalnya ayat 4 dan 5 surah al-Anfal :
            
      •     
Huruf al kaf ( ك ) pada ayat 5 berfungsi sebagai pengingat dan sifat bagi fi’il yang bersembunyi. Hubungan itu tampak dari jiwa kalimat itu. Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk mengerjakan urusan harta rampasan, seperti yang telah kalian lakukan ketika perang badar meskipun kaummu membenci cara demikian itu. Allah menurunkan ayat ini agar kaum Nabi Muhammad SAW mengingat nikma yang tela diberika Allah dengan diutusnya rosul dari kalangan mereka (surah al-Baqarah ayat 151)
     ……..
Sebagaimana juga kaummu membencimu (Rosul) ketika engkau mengajak mereka keluar dari rumah mereka untuk berjihad. Hubungan ini terjalin dengan ayat-ayat yang berada jauh sebelumnya; bukan seperti nazhiran yang ma’thufah.


(b) الاستطراد (pindah ke perkataan lain yang erat kaitannya)
Misalnya surah Al-A’raf ayat 26 tentang pakaian takwa lebih baik. Allah menyebutkan pakaian itu untuk mengingatkan manusia bahwa pakaian penutup aurat itu lebih baik. Pakaian berfungsi sebagai alat untuk memperbagus apa yang Allah ciptakan. Pakaian merupakan penutup aurat dan kebejatan karena membuka aurat adalah hal yang jelek dan bejat. Sedangkan menutup aurat adalah pintu takwa.

(c) المضادة (perlawanan)
Misalnya surah al-Baqarah ayat 6 :
•           
Allah tidak akan member petunjuk kepada mereka yang kafir itu. Ayat ini berlawanan dengan ayat-ayat sebelumnya yang menyebutkan tentang kitab, orang mukmin dan petunjuk. Hal ini berkaitan dengan ayat 23 surah Al-Baqarah:
     •   ……
Adapun hikmahnya adalah agar mukmin merindukan dan memantapkan iman berdasarkan petunjuk Allah SWT.

6. Munasabah Ayat dengan Ayat dalam Satu Surah
Munasabah ayat dengan ayat sering terlihat jelas, tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah ayat dengan ayat yang terlihat jelas sering menggunakan pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan)
a) Munasabah yang menggunakan pola ta’kid yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya. Contoh Ayat 1 dan 2 pada surah Al-Fatihah:
         
Ungkapan “rabb al-alamin” pada ayat kedua memperkuat kata “al-rahman” dan “al-rahim” pada ayat pertama.
b) Munasabah ayat dengan ayat yang menggunakan pola tafsir, apabila suatu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya. Contoh ayat 2 dan 3 pada surah Al-Baqarah:
          (2) 
      (3)
Makna “muttaqin” pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demikian, orang yang bertakwa adalah orang yang mengimani hal-hal yang ghaib, mengerjakan sholat dan seterusnya.

c) Munasabah ayat dengan ayat yang menggunakan pola i’tiradh apabila terletak satu kalimat atau lebih tidak terlihat ada kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan atau di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Contoh Surah An-Nahl ayat 57:
      •  
Kata ”subhanahu” pada ayat di atas merupakan bentuk i’tiradh (bantahan) dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak perempuan bagi Allah.

d) Munasabah ayat dengan ayat menggunakan pola tasydid, apabila satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak di sampingnya. Contoh Surah Al-Fatihah ayat 6-7:
             
Ungkapan “shiroth al-mustaqim” pada ayat 6 dipertegas oleh ungkapan “shirathalladzina......”. Antara kedua ungkapan yang saling memperkuat itu terkadang ditandai dengan huruf athaf (langsung) dan terkadang pula tidak diperkuat olehnya.
Adapun munasabah ayat dengan ayat dalam satu surah yang tidak jelas, dapat dilihat melalui qara’in ma’nawiyyah (hubungan makna). Hal ini terlihat dalam empat pola munasabah yaitu At-Tanzir (perbandingan), Al-Mudhadat (perlawanan), istithrad (penjelasan lebih lanjut) dan At-Takhallush (perpindahan).

7. Munasabah Penutup Ayat dengan Kandungan Ayatnya
Munasabah Penutup ayat dengan kandungan ayatnya menggunakan empat pola munasabah yaitu: Tamkin (memperkokoh/mempertegas), Tashdir (fashilah sudah dimuat di permulaan, di tengah atau di akhir ayat), tausikh (kandungan ayat sudah tersirat dalam rangkaian kalimat sebelumnya dalam suatu ayat) dan Al-Ighal (tambahan keterangan)
Contoh Surah Al-Hajj ayat 64:
            
Ayat tersebut berakhir dengan    (sifat Allah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji) ini menegaskan pernyataan sebelumnya
     
bahwa Allah-lah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi dan Allah tidak membutuhkan.

C. KEGUNAAN MEMPELAJARI MUNASABAH
Ilmu Munasabah sebagaimana Asbab an-Nuzul, sangat berperan dalam memahami Al-Qur’an. Kegunaan Ilmu Munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian lainnya.
2. Mengetahui korelasi antara bagian Al-Qur’an, baik antarkalimat atau antarayat maupun antarsurah, sehingga lebih memperdalam pengetahuan
dan pengenalan terhadap Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3. Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kelimatnya yang satu dengan yang lainnya serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
4. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat lain.

D. PENUTUP
Cabang ilmu dari ulumul Qur’an yang khusus membahas persesuaian-persesuaian adalah ilmu munasabah atau ilmu tanaasubil ayati wassuwari. Orang yang pertama kali menulis cabang ilmu ini adalah Imam Abu Bakar an-Naisaburi (324 H). Kemudian disusul oleh Abu Ja’far ibn Zubair yang mengarang kitab “Al-Burhanu fi Munasabati Suwaril Qur’ani” dan diteruskan oleh Burhanuddin al-Buqai yang menulis kitab “Nudzumud Durari fi Tanasubil Aayati Wassuwari” dan as-Suyuthi yang menulis kitab “Asraarut Tanzilli wa Tanaasuqud Durari fi Tanaasubil Aayati Wassuwari” serta M. Shodiq al-Ghimari yang mengarang kitab “Jawahirul Bayani fi Tanasubi Wassuwari Qur’ani”.
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai dalam arti yang sejajar dan paralel saja. Melainkan yang kontradiksipun termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan sebagainya. Sebab ayat-ayat al-Qur’an itu kadang-kadang merupakan takhsish (pengkhususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan yang konkret terhadap hal-hal yang abstrak.
Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah bahwa munasabah termasuk kajian yang bersifat ijtihadi. Karena sifatnya ijtihadi, akhirnya muncul dua aliran yang berpendapat bahwa:
1. Semua ayat/surah memiliki hubungan
2. Tidak semua ayat/surah memiliki hubungan.
Terlepas dari kedua pendapat di atas, munasabah merupakan bagian tak terpisahkan dari Ulum al-Qur’an. Apakah adanya munasabah itu ijtihadi atau tawqifi, barangkali akan dapat dijawab ketika memperhatikan telaah tentang kaitan ayat dengan ayat lain atau surah dengan surah.
Pada garis besarnya munasabah itu ada 7 (tujuh) macam, namun bisa dikelompokkan menjadi dua hal yaitu:
a. Munasabah surah dengan surah, meliputi:
1. Munasabah awal surah dengan akhir surah.
2. Munasabah nama surah dengan tujuan turunnya
3. Munasabah surah dengan surah sebelumnya
4. Munasabah penutup surah terdahulu dengan awal surah berikutnya.
b. Munasabah ayat dengan ayat, meliputi:
1. Munasabah kalimat dengan kalimat dalam ayat,
2. Munasabah ayat dengan ayat dalam satu surah,
3. Munasabah penutup ayat dengan kandungan ayatnya.

Di antara manfaat utama mempelajari munasabah adalah:
1. Menghindari kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an, sebab munculnya kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah karena tidak mengetahu munasabah.
2. Intensifikasi pengertian ayat-ayat Al-Qur’an.

Demikian pembahasan munasabah ini, semoga bisa menambah wawasan keilmuan kita terhadap Al-Quran dan menambah keyakinan kita terhadap kewahyuan dan kemukjizatan Al-Qur’an. Wallahu a’lam bishshowab.
DAFTAR PUSTAKA :
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: CV. Toha Putra. 1989
Al-Maraghy, Musthafa. Tafsir al-Maraghy Juz.30 (Qahirah: Musthofa Al-Bab al-Halaby wa Auladuhu) 1963
Amiruddin, Aam, Tafsir Al-Qur’an Kontemporer. Bandung: Khazanah Intelektual Ctk. VII, 2008
Anwar, Rosihon. Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia. 2007
Djalal, Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000
Hamzah, Muhammad, et.al, Ulum At-Tafsir. Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI E.IV. 1997
Kusnadi dalam Disertasi “Al-Wahdah Al-Qur’aniyyah dalam Tafsir al-Asasi: Studi atas Munasabah al-Qur’an menurut Sa’id Hawwa.UIN Jakarta
Ma’luf, Louis. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Beirut: Dar al-Syarqy). 1976
Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Al-Madkhal li Dirasat Al-Qur’an al-Karim, (Kairo:Maktabah al-Sunnah. 1992)
Nawawi, Rif’at Syauqi dan M. Ali Hasan. Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang. 1985
Shihab, M. Quraish, et. al. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. Ctk. VIII. 2008
Syafe’i, H. Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia. Ctk. I. 2006
-----------------------------------
ibnu.blogspot.com/2009/11/ilmu-munasabah.html
116.66.206.163/.../1556-munasabah-al-quran-kesatuan-yang-integralistik-holistik-.htmlTembolok . oleh: Lindah
ridwan202.wordpress.com/istilah.../munasabatul-quran/ -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar